Oleh Nova Dyah Fransisca Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pancasakti Tegal
Fenomena fast fashion saat ini sedang ramai diperbincangkan oleh para pelaku bisnis yang bergerak dibidang fashion. Hal tersebut dikarenakan banyak diminati oleh generasi muda, terutama dikalangan anak muda perkotaan. Berdasarkan Zero Waste Indonesia, industri fast fashion memiliki dua karakteristik yaitu low quality dan high volume yang dimana masing-masing memiliki makna. Low quality berarti bahan-bahan yang digunakan pada produk fast fashion memiliki kualitas yang rendah. Sedangkan high volume berarti produk fast fashion diproduksi dalam jumlah yang besar guna memenuhi permintaan pasar.
Fast fashion dapat didefinisikan sebagai produk pakaian yang diproduksi dengan harga yang relatif murah, memiliki jangka waktu pemakaian yang singkat, diproduksi secara banyak, dan terus menyesuaikan tren mode yang sedang berkembang saat ini. Industri fast fashion biasanya mengadopsi dari rancangan brand Luxury, yang kemudian diproduksi dengan bahan yang lebih murah sehingga bisa dijual dengan harga yang lebih terjangkau. Adanya fenomena fast fashion ini dikarenakan banyak orang yang ingin terlihat memakai pakaian yang mewah, tetapi dengan harga yang murah.
Jika dilihat, fenomena fast fashion memberikan banyak keuntungan untuk produsen maupun konsumen. Fast fashion memberikan kesempatan kepada konsumen untuk membeli pakaian yang sedang hype dengan harga terjangkau. Bagi produsen, fenomena fast fashion memberikan banyak keuntungan karena modal yang digunakan untuk produksi rendah serta permintaan pasar yang tinggi membuat produksi terus berjalan. Agar kebutuhan pasar terpenuhi, pelaku industri fast fashion membutuhkan banyak pekerja. Hal ini berdampak baik untuk mengurangi permasalahan pengangguran karena adanya lowongan pekerjaan di bidang fast fashion.
Namun, munculnya fenomena fast fashion tidak hanya memberikan keuntungan saja, tetapi juga memiliki sisi kelam yang perlu kita ketahui. Salah satu dampak yang terlihat jelas yaitu adanya pencemaran lingkungan hidup. Dalam proses pembuatan fast fashion menggunakan bahan kimia hampir disetiap proses produksinya. Mulai dari proses pemintalan dan penenunan hingga ke proses produksi barang jadi. Berdasarkan data dari United Nations Environment Programme menyatakan sekitar 93 miliar m3 air di dunia telah tercemar oleh limbah-limbah berbahaya dari industri fast fashion. Selain itu, Fast fashion juga menyebabkan permasalahan textile waste yang memiliki dua jenis yaitu pre-consumer dan post-consumer.
Pada jenis pre-consumer merujuk pada limbah tekstil yang dihasilkan pasca produksi yang belum sampai ke tangan masyarakat. Limbah ini berupa limbah pemotongan, limbah pakaian yang tidak sesuai standar, dan kelebihan kain. Sedangkan limbah post-consumer ialah limbah pakaian yang telah dibuang oleh konsumen. Fast fashion menyebabkan peningkatan jumlah limbah pakaian tiap tahunnya dikarenakan konsumen cenderung mengganti koleksi pakaian mereka sesuai dengan tren mode yang sedang hype dan membuang pakaian yang dianggap sudah tidak sesuai dengan tren mode.
Selain berdampak negatif pada lingkungan, fast fashion juga memiliki isu lain yaitu isu kemanusiaan. Hal tersebut muncul karena industri fast fashion membutuhkan tenaga kerja yang cukup untuk memproduksi barang dalam skala besar dan cepat. Salah satu strategi yang digunakan oleh perusahaan yaitu dengan merekut pekerja-pekerja industri dari negara-negara berkembang. Hal tersebut dilakukan karena perusahaan tidak perlu mengalokasikan anggaran yang besar untuk menggaji pekerja yang berasal dari negara berkembang sebab upahnya rendah. Jika dilihat, hal tersebut bukan masalah besar, tetapi banyaknya permintaan kesediaan pada industri fast fashion, pekerja harus bekerja lebih keras bahkan ada keluhan dan laporan bahwa pekerja dipekerjakan selama 12 jam nonstop bahkan tanpa tambahan biaya lembur. Isu ini terus berkembang hingga memunculkan dugaan adanya perbudakan, eksploitasi pekerja anak dibawah umur, hingga isu ketidaksetaraan gender.
Bukti nyata dari sisi gelap fast fashion ini bisa kita lihat di Bangladesh yang merupakan negara berkembang dan pemasok pekerja garmen terbesar tetapi dengan upah yang rendah yaitu 8.800 taka per minggunya atau sekitar Rp 1.475.409, yang dimana upah tersebut tidak sebanding dengan biaya hidup di Bangladesh yang mencapai 16.000 taka atau sekitar Rp 2.682.562 per minggu. Selain upah yang rendah, para pekerja garmen di Bangladesh diminta untuk bekerja selama 54 jam per minggu atau dengan rata-rata jam kerja 10-18 jam per hari. Hal ini tidak hanya terjadi di Bangladesh saja, tetapi di Indonesia sendiri bahkan sampai ada istilah “kerja di garmen harus kuat mental” karena dunia kerja di garmen terkenal dengan jam kerjanya yang panjang dan tak jarang juga mereka bekerja lembur tanpa dibayar dengan dalih tidak capai target harian dari perusahaan.
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi dampak negatif dari industri fast fashion? Kita harus lebih bijak dalam membeli, belilah sesuai kebutuhan bukan berdasarkan keinginan. Jika pakaian masih layak pakai tetapi tidak ingin memakainya kembali, bisa kita jual atau sumbangkan agar tidak menjadi limbah pakaian. Sedangkan untuk pelaku industri fast fashion dapat berkontribusi dengan mempertimbangkan lebih bijak jumlah produksi dan bahan yang diperlukan agar mengurangi limbah pre-consumer. Selain itu, pelaku bisnis juga harus lebih memperhatikan kesejahteraan pekerjanya dengan memberikan upah yang sesuai, memberikan perlindungan dan jaminan kesehatan terhadap pekerjanya.