Oleh Evita Viani Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pancasakti Tegal
Berkembangnya media sosial telah membawa dampak signifikan pada pola perilaku manusia, terutama dalam hal konsumsi konten visual. Salah satu perilaku yang semakin mendominasi adalah kebiasaan scrolling video pendek di platdorm-platfrom seperti Tiktok, Instagram Reels, dan lainnya. Meskipun aktivitas tersebut pada awalnya tampak sebagai hiburan ringan, penelitian terbaru menyoroti potensi risiko terkait dengan kebiasaan scrolling tersebut, khususnya terhadap kesehatan otak.
Video Pendek dengan esensinya yang singkat dan langsung, memicu reaksi yang menarik dalam pikiran kita. Berawal dari kekaguman akan kreativitas pengguna hingga efek kocak yang yang mengundang tawa, video pendek menawarkan paket hiburan instan yang sulit untuk diabaikan. Keterlibatan langsung dengan berbagai konten dalam hitungan detik menciptakan magnetisme tersendiri, menggoda kita untuk terus berada dalam aliran tersebut.
Saat kita menggulir tanpa henti, mungkin terasa seperti mengarungi lautan tak terbatas. Aktivitas scrolling tersebut memicu ketertarikan bawaan kita pada kejutan dan ketidakpastian. Algoritma yang cerdas dan variasi konten yang beragam terus memperbarui pengalaman kita, memancing rasa ingin tahu dan mempertahankan minat kita dalam ritual scrolling yang terkadang berlangsung selama berjam-jam.
Hasil riset dari data.ai yang berjudul “State of Mobile 2023” menunjukkan bahwa warga Indonesia menghabiskan waktu lebih dari 5 jam untuk scroll handphone di jaringan seluler sepanjang tahun 2022. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara nomer 1 di dunia yang masyarakatnya kecanduan scrolling handphone. Oleh karena itu, pemahaman mendalam mengenai resiko kebiasaan scrolling dapat mengurangi peningkatan risiko gangguan kognitif pada seseorang.
Sebenarnya, menonton video berdurasi pendek dapat memberikan dampak yang bervariasi, tergantung pada konten dan durasi yang dihabiskan untuk aktivitas tersebut. Konten-konten dalam video pendek yang sangat beragam menghadirkan tantangan terhadap konsentrasi dan perhatian kita. Konten yang cepat berubah dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan kemampuan kita untuk mempertahankan perhatian dalam situasi yang lebih mendalam.
Berdasarkan data penelitian, kebiasaan menonton video pendek seperti Tiktok, Instagram Reels, dan lainnya dengan durasi 15-60 detik, bisa membuat seseorang menjadi sulit untuk menikmati konten yang berdurasi lebih panjang. Kondisi tersebut disebabkan oleh kebutuhan fokus yang lebih lama saat megonsumsi konten berdurasi lebih panjang.
Salah satu aspek kritis yang muncul dari kebiasaan scrolling video pendek adalah potensi terjadinya ketidakseimbangan otak dalam menyampaikan pesan ke tubuh. Hal tersebut dapat memicu perubahan perilaku dan mood dengan cepat, bahkan bisa sampai mempengaruhi fungsi kognitif otak. Adanya stimulus yang berlebihan dari video pendek dengan durasi singkat dapat mengakibatkan otak terus menerus merespons tanpa adanya jeda yang memadai, mengakibatkan kelelahan dan kerusakan pada tingkat sel saraf.
Video pendek yang menghadirkan informasi dengan durasi singkat seringkali membuat kita mengabaikan kemampuan diri dalam berpikir secara mendalam. Kita menjadi terbiasa menerima informasi tanpa memerlukan pemikiran kritis, sehingga bisa memicu kurangnya kemampuan dalam memecahkan masalah secara menyeluruh.
Kemudian, video pendek dengan kontennya yang singkat dan berulang, dapat membatasi kemampuan otak untuk menyimpan informasi dalam memori jangka panjang. Hal ini disebabkan karena kita terlalu sering beralih antara video satu ke video lainnya dalam hitungan detik, sehingga membuat informasi yang kita peroleh hanya terkonsentrasi dalam memori jangka pendek. Bahkan, bisa jadi kita lupa atau kesulitan mengingat informasi yang seharusnya kita dapatkan dengan lebih baik.
Jadi dapat kita pahami, meskipun kebiasaan scrolling video pendek di media sosial mungkin tampak sepele, namun kita perlu memahami potensi risiko yang terkait aktivitas tersebut, terutama terhadap kesehatan otak. Dengan pendekatan yang seimbang antara edukasi masyarakat, penelitian lebih lanjut, ataupun upaya dari platfrom media sosial, semoga kita dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat dan berkelanjutan.