TEGAL, smpantura – Keberadaan Pecinan Tegal, telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Terbentuknya kawasan ini, berkaitan erat dengan peristiwa Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Di mana pada saat itu, Tegal diketahui masih di bawah pemerintahan Kerajaan Mataram.
Terjadinya perang saudara, menyebabkan Kerajaan Mataram terpecah menjadi dua, yakni Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Jauhnya wilayah Tegal dari Kerajaan Mataram, menyebabkan Tegal akhirnya jatuh ke tangan Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC.
VOC di tanah Tegal, kemudian membentuk Sistem Opsir Tionghoa yang dipimpin oleh seorang kapitein. Pada masanya, masyarakat Tionghoa Tegal dipimpin Kapitein der Chinezen, sedangkan di wilayah Slawi dan Adiwerna, Kabupaten Tegal, dipimpin Luitenant der Chinezen.
Salah satu tugas Opsir Tionghoa adalah mengurus hak-hak sipil masyarakat Tionghoa, seperti peribadahan. Seperti diketahui, peribadahan tidak lepas dari kelenteng, karena pada saat itu hampir sebagian besar masyarakat Tionghoa menganut kepercayaan Konghucu.

Di saat Sistem Opsir Tionghoa dilaksanakan, Ketua Kelenteng merupakan para opsir itu sendiri beserta bawahannya. Setelah sistem tersebut dihilangkan, barulah dibentuk suatu badan kepengurusan.
Pada tahun 1903, Kelenteng Tek Hay Kiong Tegal, resmi memiliki badan hukum. Itu setelah salah satu pengurus kelenteng bernama Liem Djim Tek, mengajukan rechtspersoon ke Pemerintahan Belanda. Bahkan, sejak 1903 hingga 2023 ini daftar nama kepengurusannya masih tercatat lengkap.
Seperti diketahui, kelenteng didirkan di tengah-tengah pecinan, sehingga memudahkan masyarakat Tionghoa untuk beribadah.

Kelenteng Tek Hay Kiong adalah bangunan yang didedikasikan untuk menghormati seorang tokoh bernama Kwee Lak Kwa, yang pernah tinggal dan menolong orang di sepanjang Pantai Utara (Pantura). Dia juga dipercaya telah mencapai moksa, mencapai tingkat kedewaan lautan Tegal dan mendapat gelar kedewaan Tek Hay Cin Jin.
Rohaniawan Kelenteng Tek Hay Kiong Tegal, Chen Li Wei Dao Chang mengatakan, kelenteng dibangun oleh Kapitein der Chinezen pertama di Tegal yang bernama Kapitein Souw Pek Gwan sekitar tahun 1760.
Namun, seiring berjalannya waktu, kelenteng yang saat itu diberi nama Kelenteng Cin Jin Bio, mengalami kerusakan di berbagai sudut.
Kemudian, oleh tokoh masyarakat Tionghoa Tegal bernama Kapitein Tan Koen Hway, kelenteng dirombak secara total dengan mendatangkan ahli bangunan dari Tiongkok pada tahun 1837.
Pada saat itu juga, Kapitein Tan Koen Hway, menyumbangkan meja sembahyang yang saat ini masih dipergunakan. Termasuk papan nama Tak Hay Cin Jin dan papan syair pujian untuk Kongco Tek Hay Cin Jin.
“Papan prasastinya sejak 1837 masih ada, itu menjelaskan perubahan dari nama kelenteng yang semula Kelenteng Cin Jin Bio menjadi Kelenteng Tek Hay Kiong,” jelasnya.

Lebih lanjut Dao Chang menjelaskan, rumah Kapitein Tan Koen Hway, berada di Kampung Paweden, Jalan Veteran, Kecamatan Mintaragen, Kecamatan Tegal Timur. Di sekitar kampung tersebut juga berdiri rumah-rumah para pegawai kapitein, yang seiring berjalannya waktu banyak disinggahi masyarakat umum.
Sementara itu, Kawasan Pecinan Tegal sendiri, pada masanya dianggap berada di dua wilayah Kecamatan Tegal Barat dan Tegal Timur. Lebih tepatnya di sekitar Jalan Veteran, Jalan DI Panjaitan, Jalan MT Haryono, hingga kawasan Kantor Pos.

“Tradisi leluhur yang masih dilakukan di rumah-rumah masyarakat di kawasan pecinan semakin memudar. Hanya saja, mereka melakukannya terpusat di Kelenteng Tek Hay Kiong. Adapun tradisi itu yakni membakar wewangian dari kayu gaharu menjelang Imlek,” imbuh Dao Chang.
Pada umumnya, setiap pencinan memiliki bangunan Kong Kwan atau kantor para opsir. Namun, ini tidak berlaku di Tegal dan menjadi keunikan sendiri. Sebab, di Tegal hanya tersedia bangunan seperti klub house, tidak seperti Kong Kwan yang berada di Batavia maupun Semarang.
“Kong Kwan merupakan kantor para opsir Tionghoa, sedangkan di Tegal itu tidak ada. Adanya justru seperti klub house yang menyuguhkan hiburan seperti menabuh gamelan,” bebernya.
Ditambahkan Tan Ming Shan, demikian dia akrab disapa, Kelenteng Tek Hay Kiong memiliki seperangkat alat gamelan, seperti pelok, slendro dan lainnya, yang berangka tahun 1861. Seperangkat gamelan yang bernama Kyai Naga Mulya ini kerap digunakan pada acara-acara tertentu.
Terakhir kali digunakan, sekitar tahun 2017 lalu pada saat memperingati Hari Ulang Tahun ke-180 Kelenteng Tek Hay Kiong. Budaya dan tradisi dari leluhu ini terus dijaga para generasi penerus, dengan tetap mengedepankan unsur religi.
“Jadi sebelum Kyai Naga Mulya digunakan, kita meminta izin dulu kepada Kongco tuan rumah. Jika diizinkan, maka pagelaran diadakan. Demikian dengan ditabuh dan lagu-lagunya, kita tanyakan dulu kepada Kongco,” pungkasnya.
Ditambahkan Tan Ming Shan, terdapat dua organisasi masyarakat Tionghoa di Tegal, yakni Tek Hay Kiong (THK) dan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Keduanya juga sebagian besar diisi oleh orang-orang yang sama.
Setelah THHK dibubarkan, maka untuk melindungi aset-aset THHK dan THK, kemudian didirikanlah Yayasan Tri Dharma Tegal pada tahun 1978 dengan status hukum sebagai yayasan yang resmi hingga sekarang.
Keberadaan Kampung Pecinan di Kota Tegal, diketahui telah ada sejak abad ke-18. Itu berawal dari terjadinya kerusuhan etnis di Batavia (sekarang Jakarta-red) pada tahun 1740. Ketika itu, tidak sedikit warga etnis Tionghoa yang ekdodus meninggalkan Batavia dan lari menuju Jawa bagian Tengah, seperti Cirebon, Indramayu, Brebes, Tegal, hingga Lasem, Rembang.
Bukti adanya perkampungan Cina di Kota Tegal, yang membentang di wilayah Jalan Veteran sampai ke Jalan Teri dan menyimpang di Kampung Paweden, adalah keberadaan Chinese Camp Street atau salah satu kampung yang menjadi kebijakan pemerintah kolonial tahun 1864 dengan adanya Kebijakan Wijkenstelsel.
“Jadi kampung-kampung di wilayah Jawa, setelah Perang Diponegoro, sudah mulai dijadikan kampung-kampung yang didasarkan pada etnis. Tujuannya agar etnis mudah untuk diawasi,” terang Sejarawan Pantura, Wijanarto.
Lebih lanjut Sejarawan asal Kabupaten Brebes ini menjelaskan, Kampung Pecinan di Kota Bahari, juga dibuktikan dengan keberadaan kelenteng di abad ke-18.Tumbuhnya Kampung Cina di Kota Tegal, menciptakan satu persinggungan dan keterpengaruhan terhadap masyarakat Cina di wilayah Tegal.
Bagian terpenting adanya Kampung Pecinan berdasarkan arsip foto lama yakni adanya foto bangunan kelenteng, bangunan-bangunan pecinan (perempatan lampu merah gantung Jalan Ahmad Yani saat ini) hingga Benteng (disebut orang Tegal) di sekitar Jalan MT Haryono atau sebelum Pasar Sore.
Menurutnya, tidak dipungkiri setelah adanya Kampung Pecinan, terjadi strukturisasi wilayah Pecinan dan Dewan Pecinan (Kong Kwan) yang beberapa waktu lalu sempat digunakan untuk SMP Negeri 5 Kota Tegal.
“Selain temuan Dewan Kong Kwan, pada awal abad ke-20 menjelang akhir abad ke-19, masyarakat di wilayah Pecinan Tegal itu juga membuat sekolah yang bernama Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Kawasan THHK sekarang ini menjadi kompleks SMA Negeri 4 dan SMK YPT. Dari situ, banyak menghasilkan elit-elit peranakan Tionghoa yang terpelajar,” ucapnya.
Ditambahkan Wijanarto, keberadaan THHK banyak melahirkan peranakan Tionghoa terpelajar dan perlu dilacak keberadaannya. Salah satunya adalah alumni THHK bernama Tan Hong Koen, yang merupakan sastrawan keturunan Tionghoa Banjaran.
Di bidang media, masih kata Wijanarto, orang-orang Tionghoa di Kota Tegal, banyak yang berlangganan Surat Kabar Sin Po dan Surat Kabar De Locomotief berbahasa Belanda. Bahkan, terdapat wartawan dari Surat Kabar Sin Po yang ditempatkan di Tegal dan aktif memberitakan kegiatan-kegiatan peranakan Tionghoa di wilayah Kota Tegal dan Slawi.
Perkembangan menarik akan adanya Kampung Pecinan, juga diuraikan Wijanarto. Sebab, selain di Kota Tegal, Kampung Pecinan juga tumbuh di wilayah Desa Banjaran, Kecamatan Adiwerna, Slawi dan Desa Kemantran, Kabupaten Tegal. Itu dibuktikan dengan adanya kelenteng di wilayah tersebut.
Hal menarik lain akan pertumbuhan kantong-kantong Perkampungan Cina, salah satunya adalah industrialisasi perkebunan dan terbentuknya moda transportasi saat itu. Disebut Wijanarto, jaringan-jaringan transportasi dapat menghubungkan beberapa wilayah.
Seperti halnya jaringan transportasi di wilayah Desa Kemantran, dapat menghubungkan dengan Pabrik Gula (PG) Kemantran. Kemudian jaringan transportasi di wilayah Pangkah dapat menghubungkan PG Pangkah, dengan kota-kota di Slawi dan Banjaran.
“Perlu diingat juga bahwa transportasi kereta api yang dibangun oleh perusahaan kereta api sebelum Semarang Cherinoon Stroomtram (SCS) dapat memudahkan serta meningkatkan mobilitas masyarakat di sekitarnya. Dari catatan yang ada, transportasi kereta api itu membentang dari wilayah Tegal, masuk ke Banjaran sampai ke Margasari dan kemudian bertemu di Prupuk,” tegasnya.
Berkembangnya para etnis melalui berbagai sektor, menjadikan pemerintah kolonial sangat bergantung kepada mereka. Bahkan, tidak jarang para etnis Tionghoa menggelar pesta dan sejenisnya bersama kolonial di setiap perayaan-perayaan besar.
Kemudian, pada saat Perang Dunia II, orang-orang Tionghoa di Tegal, membentuk semacam dana Perang Dunia II, sehingga kontribusi mereka terhadap pemerintah saat itu sangatlah besar.
“Hanya saja, pada waktu itu sempat terjadi badai politik, tepatnya saat Peristiwa Tiga Daerah yang kemudian menjadikan orang-orang Tionghoa menjadi korbannya. Mulai dari pembantaian hingga pengambilan aset. Peristiwa ini sudah dicantumkan dalam catatan-catatan orang Belanda,” tukasnya.
Di satu sisi yang terlupakan oleh pemerintah, para keturunan Tionghoa merawat dan meruat sebuah proses komunikasi kultural. Saat Imlek saat ini, makanan khas seperti kue keranjang, latopia dan tauco laris.

“Tetapi pemerintah belum bisa mempertahankan itu sebagai identitas bersama. Padahal, latopia bisa dijadikan warisan budaya tak benda Kota Tegal. Termasuk industri kecap merek Djoe Hoa di Kota Tegal, yang dirintis etnis Tionghoa sejak 1943. Banyak kuliner-kuliner dan kesenian, seperti Wayang Potehi dan Wayang Cepak yang konon banyak dikembangkan salah satu seniman Cina di Tegal,” katanya.
Selain itu, terdapat pula gamelan dan keris di Kelenteng Tek Hay Kiong, yang masih dirawat sebagai upaya akulturasi antara Jawa dan Cina. (T03-Red)