Ahmad Muzani dan Pelajaran dari Bangku Madrasah Ibtidaiyah

Oleh : Muhdi, S.Ag., M.H. (kepala MI Salafiyah Danawarih)

Di tengah riuh politik identitas dan polarisasi, sosok Ahmad Muzani layak menjadi bahan perenungan. Ketua MPR RI periode 2024–2029 ini tak hanya mewakili generasi politisi yang lahir dari rahim reformasi, tetapi juga bukti bahwa pendidikan dasar di madrasah ibtidaiyah bisa menjadi fondasi kepemimpinan nasional yang inklusif. Dari Tegal, Jawa Tengah, ia membawa nilai-nilai moderasi Islam yang dipelajarinya sejak kecil ke panggung politik tertinggi, dengan satu pesan tegas: agama dan kebangsaan bukanlah dua kutub yang bertolak belakang.

Muzani mengenyam pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah Tegal pada 1975–1981. Di sana, ia tak sekadar belajar membaca Al-Qur’an, tetapi juga menyerap prinsip tawassuth (moderasi) dan tasamuh (toleransi) yang menjadi DNA sistem pendidikan pesantren. Nilai-nilai itu menjelma menjadi sikap politiknya. Dalam pidato pertamanya sebagai Ketua MPR, ia menegaskan Pancasila sebagai final dan NKRI sebagai harga mati—sebuah pernyataan yang mungkin terdengar klise, tapi menjadi penting di tengah maraknya kelompok yang gemar mengusung simbol agama untuk kepentingan praktis.

BACA JUGA :  Membaca RPJMD Dedy Periode Kedua

Konsistensi ini terlihat dari langkah-langkah konkretnya. Salah satunya adalah inisiasi MPR for Papua, forum dialog yang ia gagas untuk mendengarkan akar masalah di Papua. Alih-alih memilih pendekatan represif, Muzani justru mengedepankan musyawarah, metode yang akrab diajarkan di lingkungan madrasah. Baginya, konflik tak boleh diselesaikan dengan ego sektoral, melainkan dengan prinsip hikmah (kebijaksanaan) yang diwariskan tradisi Islam Nusantara. Ini sekaligus menjawab stereotip bahwa lulusan madrasah tertutup terhadap isu-isu kebhinekaan.

error: