Ahmad Muzani dan Pelajaran dari Bangku Madrasah Ibtidaiyah

Kritik kerap menyasar latar belakang politiknya yang dekat dengan Partai Gerindra. Sebagian pihak meragukan netralitasnya dalam mengelola MPR. Namun, Muzani membungkam keraguan itu dengan langkah berani: mengangkat Siti Fauziah sebagai Sekretaris Jenderal MPR perempuan pertama dalam sejarah. Keputusannya bukan hanya tentang kesetaraan gender, tetapi juga bukti bahwa nilai keadilan (al-‘adl) yang ia pelajari di madrasah bisa diterjemahkan secara modern. “Kemajuan harus inklusif. Tidak ada ruang untuk diskriminasi di lembaga konstitusi,” tegasnya saat pelantikan.

Di luar kebijakan, yang menarik adalah cara Muzani menjadikan madrasah sebagai “branding politik”. Ia tak pernah menyembunyikan identitasnya sebagai alumni madrasah, bahkan menjadikannya sebagai narasi untuk mendorong SDM berbasis pesantren agar berkontribusi di semua lini. Ia kerap mengutip kisahnya sendiri sebagai contoh: dari belajar di kelas sederhana di Tegal hingga memimpin lembaga tertinggi negara. Gagasannya sejalan dengan tren positif di tingkat nasional, di mana banyak tokoh seperti Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas atau ekonom M. Chatib Basri membuktikan bahwa madrasah bukan penghalang untuk bersaing di era global.

Tentu, Muzani bukan tanpa cela. Kedekatannya dengan partai tertentu berisiko mengaburkan objektivitas MPR. Namun, upayanya memperluas peran DPD dan melibatkan kelompok marginal dalam perumusan kebijakan menunjukkan komitmennya untuk menjaga marwah lembaga. Di sinilah pelajaran dari madrasah kembali berbicara: kepemimpinan sejati bukan tentang kekuasaan, melainkan tanggung jawab untuk menjadi penjaga konsensus bangsa.

error: