Budaya  

Asal-Usul Desa Lembasari Tegal dan Misteri Makam Mbah Jeneng

Demikian juga Mbah Dipoyudo yang orang-orang lebih mengenal Mbah Jeneng. Hal ini dilakukan agar pasukan Belanda tidak tahu keberadaan yang sebenarnya tinggal. Maka, Mbah Dipoyudo menghilangkan jati dirinya. Mbah Dipoyudo atau Mbah Jeneng beserta rombongannya berlindung di suatu lembah yang banyak pohonnya perlindungan yang aman dan rindang di suatu tempat.

“Ceritanya Gus Muafiq (ulama NU asal Sleman) yang sempat ke makam Mbah Jeneng, bahwa Mbah Jeneng merupakan Panglima Pangeran Diponegoro, Dipayuda,” kata Harto.

Juru Kunci Makam Mbah Jeneng, Karno menuturkan, Mbah Jeneng hidup didampingi prajurit dan pengawalnya seperti, Sulalendra, Nyi Rantam Sari, Sojan, Bayan Agung, Dede Lanang, Pangguraguna, Candrageni, Syeh Pandan Jati, Darmo Kusuma, Banar Reksa, Ayu Siti Sondari, Palundadi, Haji Nur Hasan, Ayu Klenting Kuning, Tuan Pendeta, Tama, Sukar, Bonang, Mbah Katong, Mangkunegara, Kimong Subur, juga pembantu setianya yaitu Ki Lamba dan Nini Sari. Karena dirasa aman kehidupan mereka lama kelamaan ada yang mendirikan rumah atau tajuk-tajuk (gubuk-gubuk) di lingkungan pohon besar.

BACA JUGA :  Sosok Plekatik Sebagai Manusia Pilihan Yang Moksa, Ki Mas Jaka Poleng Penguasa Gaib Brebes (1)

Pada suatu hari menghadaplah Ki Lamba dan Nini Sari ke Mbah Jeneng, untuk menyampaikan suatu hal yaitu dengan kelahiran bayi di lingkungan tersebut.

Kemudian Mbah Jeneng dengan gembira mengatakan bahwa Mbah akan memberikan nama sijabang bayi sekaligus memberikan nama padukuhan yang selama ini dihuninya. Kemudian Mbah Jeneng dengan menunggangi kuda kesayangannya yang berwarna tanah basah, mengelilingi padukuhan yang dihuni selama ini.

Setelah mengelilingi padukuhan Mbah Jeneng mengumpulkan orang-orang di sekitarnya. Mbah Jeneng memberikan nama si jabang bayi ini dengan nama Lambasari, sesuai dengan dimana kita hidup juga di Lembah yang Asri. Sejak saat itu, kampung yang dihuni Mbah Jeneng dan masyarakat sekitarnya diberi nama Lembasari. **