SLAWI, smpantura – Berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Tegal, Desa Lembasari di Kecamatan Jatinegara, sangat asri. Desa yang mayoritas penduduknya bertani itu, menyimpan banyak misteri. Terutama, makam Mbah Jeneng yang konon merupakan panglima perang Pangeran Diponegoro.
Memasuki Desa Lembasari, pepohonan rindang dan tanaman palawija berjejer rapi mengikuti rumah-rumah warga. Suasana asri nan adem ditambah dengan keramahan para penduduknya, mengisyaratkan rasa tentram dan damai. Terlebih, jika sudah berziarah ke makam Mbah Jeneng yang merupakan tokoh dan leluhur penduduk desa tersebut.
Nama Lembasari tak lepas dari tokoh tersohor Mbah Jeneng. Pasalnya, nama desa itu merupakan pemberian dari orang yang pada zaman dulu dikenal sangat sakti. Lalu, siapa itu Mbah Jeneng?
Menurut Kepala Desa Lembasari, Harto SPd, berakhirnya Perang Diponegoro tahun 1830 menjadikan sebagian besar pengikutnya atau mantan prajuritnya berlindung mencari keamanan diri dari kejaran pasukan Belanda. Mereka ada yang berusaha hidup menyatu dengan rakyat biasa atau hidup di hutan-hutan.
Tersebutlah Sanak Kerabat dari Kasultanan Mataram beserta rombongannya yang setia dengan perjuangan Pangeran Diponegoro juga menghindarkan diri. Mereka mencari hidup di hutan-hutan di bawah pohon besar untuk berlindung.
Dimasa berakhirnya perang Diponegoro beberapa prajurit khususnya yang mengkoordinir wilayah barat yaitu Banyumas, dipimpin oleh Panglima Perang Mbah Dipayuda, nama aslinya sendiri adalah Ki Surodipo bergelar Dipoyudo. Seperti Pangeran Diponegoro bahkan mengubah namanya menjadi Syekh Ngabdurahim selama perjalanan dengan tujuan agar tak dikenali orang.
Demikian juga Mbah Dipoyudo yang orang-orang lebih mengenal Mbah Jeneng. Hal ini dilakukan agar pasukan Belanda tidak tahu keberadaan yang sebenarnya tinggal. Maka, Mbah Dipoyudo menghilangkan jati dirinya. Mbah Dipoyudo atau Mbah Jeneng beserta rombongannya berlindung di suatu lembah yang banyak pohonnya perlindungan yang aman dan rindang di suatu tempat.
“Ceritanya Gus Muafiq (ulama NU asal Sleman) yang sempat ke makam Mbah Jeneng, bahwa Mbah Jeneng merupakan Panglima Pangeran Diponegoro, Dipayuda,” kata Harto.
Juru Kunci Makam Mbah Jeneng, Karno menuturkan, Mbah Jeneng hidup didampingi prajurit dan pengawalnya seperti, Sulalendra, Nyi Rantam Sari, Sojan, Bayan Agung, Dede Lanang, Pangguraguna, Candrageni, Syeh Pandan Jati, Darmo Kusuma, Banar Reksa, Ayu Siti Sondari, Palundadi, Haji Nur Hasan, Ayu Klenting Kuning, Tuan Pendeta, Tama, Sukar, Bonang, Mbah Katong, Mangkunegara, Kimong Subur, juga pembantu setianya yaitu Ki Lamba dan Nini Sari. Karena dirasa aman kehidupan mereka lama kelamaan ada yang mendirikan rumah atau tajuk-tajuk (gubuk-gubuk) di lingkungan pohon besar.
Pada suatu hari menghadaplah Ki Lamba dan Nini Sari ke Mbah Jeneng, untuk menyampaikan suatu hal yaitu dengan kelahiran bayi di lingkungan tersebut.
Kemudian Mbah Jeneng dengan gembira mengatakan bahwa Mbah akan memberikan nama sijabang bayi sekaligus memberikan nama padukuhan yang selama ini dihuninya. Kemudian Mbah Jeneng dengan menunggangi kuda kesayangannya yang berwarna tanah basah, mengelilingi padukuhan yang dihuni selama ini.
Setelah mengelilingi padukuhan Mbah Jeneng mengumpulkan orang-orang di sekitarnya. Mbah Jeneng memberikan nama si jabang bayi ini dengan nama Lambasari, sesuai dengan dimana kita hidup juga di Lembah yang Asri. Sejak saat itu, kampung yang dihuni Mbah Jeneng dan masyarakat sekitarnya diberi nama Lembasari. **
Baca Juga