“Padahal, kartu keluarga nikah siri hanya sebatas langkah afirmasi dari pemerintah dalam menangani masalah pernikahan siri,” ungkapnya.
Kemudian permasalahan yang kedua, lanjut Zaki, dalam perspektif maqasid asy-syariah pencatatan nikah oleh pemerintah merupakan langkah kehati-hatian (ihtiyath) dari pemerintah agar sesuai dengan tujuan pernikahan. Suami-istri dan anak-anak hasil pernikahan dapat menjalankan hak dan kewajiban masing-masing dalam nafkah, waris, pengasuhan dan sebagainya.
Berbeda dengan pencatatan nikah siri. Menurut Zaki, tidak memiliki kekuatan hukum. Meskipun, kartu keluarga yang mekanismenya tidak berurut melalui akta nikah KUA, sudah digantikan dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM).
“Artinya, kartu keluarga tidak dapat digunakan sebagai dokumen resmi dalam menjamin hak dan kewajiban pemiliknya dalam konteks perundang-undangan di Indonesia,” bebernya.
Maka dalam perspektif Maqasid Asy-syariah, kata Zaki, kartu keluarga nikah siri tidak linier atau tidak sesuai dengan prinsip hifdzun annafs (perlindungan jiwa), hifdzun annasl (perlindungan keturuan) dan hifdzul maal (perlindungan harta). Sementara yang ketiga, Zaki menghendaki, perlu adanya rekonstruksi regulasi pencatatan nikah siri dalam kartu keluarga agar sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang ada dengan menyebutkan masa berlakunya kartu keluarga nikah siri.
Selama masa berlaku ini, pemilik kartu keluarga nikah siri harus mempersiapkan segala sesuatunya agar dapat melaksanakan isbat nikah yang menjadi dasar penerbitan kartu keluarga yang berkekuatan hukum.
Menurut Zaki, langkah afirmasi dari pemerintah ini idealnya dipandang sebagai upaya menciptakan budaya hukum di tengah masyarakat dalam konteks pencatatan nikah.