SEMARANG, smpantura – Jajaran Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jateng berhasil mengungkap kasus Tindak Pidana dan Pencucian Uang (TPPU) di Koperasi Simpan Pinjam (KSP) GMG Giri Muria Group Kabupaten Kudus. Seorang pelaku diringkus polisi.
Tersangka adalah AH (45) warga Kudus yang disebut sebagai pendiri Koperasi Simpan Pinjam (KSP) GMG Giri Muria Group yang beroperasi di Kabupaten Kudus. Akibat tindakannya itu, kerugian yang sudah dilaporkan senilai Rp 16 miliar, sedangkan potensi kerugian nasabah mencapai Rp 267 miliar.
Hal itu diungkapkan Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Kombes Pol Dwi Subagio didampingi Kabid Humas Kombes Pol Iqbal Alqudusy serta perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dinas Koperasi Provinsi Jateng dalam sebuah konferensi pers di kantor Ditreskrimsus Polda Jateng, Banyumanik, Kota Semarang pada Senin, (10/10/2022).
“Aksi tersangka dilakukan sejak 2015 sampai 2021. Korban yang sudah melapor sembilan orang dengan kerugian Rp 16,6 M,” kata Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Iqbal Alqudusy.
Dirreskrimsus Polda Jateng, Kombes Pol Dwi Subagio menjelaskan, modus tersangka yaitu menarik nasabah atau masyarakat untuk menyimpan uangnya dengan iming-iming bunga tinggi. “Modus operandi yang dilakukan, dia menghimpun dana dengan iming-iming ke masyarakat dengan bunga 12-15 persen pertahun. Padahal normatifnya, sekitar 3-4 persen setahun,” terangnya.
Menurut dia, ada potensi kerugian nasabah senilai Rp 267 miliar, karena ada 2.601 masyarakat dan nasabah yang menghimpun dana di KSP tersebut. Dari pengembangan, sejak 2015 lalu warga yang himpun dana 2.601 orang. “Ditkrimsus Polda Jateng bekerja sama dengan Kurator dan Ojk memperkirakan terdapat Potensi kerugian Rp 267 M,” ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, tersangka menggunakan uang tersebut untuk membeli sejumlah kendaraan, aset tanah, hingga membeli saham. Setidaknya ada 12 sertifikat tanah yang sudah hak milik yang disita. Namun total nilai aset baru Rp 8 miliar. “Yang dari penyimpanan digunakan untuk menutupi kegiatan lain. Untuk beli aset tanah, ada 12 sertifikat. Yang jadi pertanyaan dari sekian banyak potensi kerugian, yang kami sita baru Rp 8,5 M,” katanya.
Dia menambahkan, saat ini kasusnya masih didalami dan tersangka dijerat Pasal 46 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. “Ancaman hukuman minimal 5 tahun maksimal 15 tahun penjara,” sambung Dwi.
Sementara itu tersangka, AH mengaku, koperasinya semula berjalan baik, namun kemudian terkena dampak pandemi COVID-19 sehingga banyak kredit macet dan mulai colabs. “Tadinya baik baik saja, tapi ada pandemi mulai collapse,” akunya. (rls_red)