Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur, Dikeluhkan Nelayan Pantura

TEGAL, smpantura – Sejumlah nelayan dan pelaku usaha penangkapan ikan di Pantai Utara Jawa Tengah, mengeluhkan penerapan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Pasalnya, kebijakan yang berorientasi untuk menggenjot penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dari sektor kelautan dan perikanan dengan mekanisme PNBP pasca produksi, menjadikan nelayan dan pelaku usaha perikanan, merasa dipaksa membayar denda di luar pembayaran PNBP.

Bahkan, pelaku usaha perikanan dan nelayan yang tidak patuh, terancam tidak akan diterbitkan surat laik operasi (SLO) dan surat persetujuan berlayar (SPB) hingga pembekuan izin usaha.

Ketua Bidang Ketahanan Pangan Maritim Industri dan Perdagangan, Dewan Koperasi Kota Tegal, H Riswanto mengatakan, mekanisme pengawasan dalam pelaporan secara mandiri di lapangan dilakukan sangat ketat.

“Tidak jarang menimbulkan perselisihan, hingga berdampak pada keresahan dan tidak kondusifnya usaha sektor kelautan dan perikanan,” ungkap H Riswanto, Jumat (13/10/2023).

Riswanto mengaku, banyak menerima keluhan dari pelaku usaha penangkapan ikan dan nelayan, yang izin usahanya sudah diurus sesuai aturan. Di mana aturan itu menyebut, tidak akan menarik PNBP dan pungutan hasil perikanan (PHP) bagi kapal yang tidak beroperasi alias menganggur.

“Realisasinya kapal yang menganggur dan baru akan melaut, ditagih denda puluhan sampai ratusan juta dan wajib dibayarkan sebelum diterbitkan SLO maupun SPB,” tegasnya.

BACA JUGA :  Empat Penyakit Ini Banyak Diderita Warga Tegal Saat Pancaroba

Keresahan juga terjadi di kalangan nelayan kapal, ukuran di bawah 30 gross tonnage (GT) terkait kebijakan migrasi kapal penangkap ikan.

Dijelaskan Riswanto, nelayan di bawah 30 GT yang semula hanya dibebani biaya retribusi daerah, saat ini wajib membayar PNBP dan pemasangan vessel monitoring system (VMS), membayar air time yang harganya mahal ke pemerintah pusat.

“Dulu itu izin kapal di bawah 30 GT ada di kabupaten, kota dan provinsi. Bagi kapal yang beroperasi di atas 12 mill, hanya dibebankan retribusi. Tapi sekarang ini kena dobel pungutan,” bebernya.

Ditambahkan dia, semestinya aturan yang dibuat KKP menciptakan iklim usaha yang kondusif, untuk keberlangsungan usaha penangkapan ikan yang saat ini tengah mengalami kelesuan, di tengah naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) solar industri.

Ironisnya, KKP juga tidak bisa berbuat banyak memberikan skema solusi, di saat nelayan digempur tingginya harga solar industri.

“Kenaikan BBM tentu menyebabkan biaya operasional melaut membengkak. Imbasnya pendapatan bagi hasil pelaku usaha maupun para anak buah kapal (ABK) menurun. Jika diimbangi dengan kenaikan harga ikan mungkin ada sedikit solusi,” tutupnya. (T03-Red)

Scroll to top
error: