Menumbuhkan Empati di Dunia Pendidikan: Dari Kecerdasan Emosional ke Etika Berbahasa

Oleh: Dr. Nur Aflahatun, M.Pd (Dosen dan Pemerhati Pendidikan-Universitas Pancasakti Tegal)

smpantura – Kasus perundungan yang menimpa Timothy Anugerah, seorang mahasiswa yang menjadi korban bullying hingga berakhir tragis, mengguncang nurani publik. Peristiwa ini bukan hanya menyisakan duka mendalam, tetapi juga menggugah kesadaran kita bahwa lembaga pendidikan yang semestinya menjadi ruang aman untuk tumbuh dan belajar  masih menyimpan sisi gelap yang kerap diabaikan.

Bullying di dunia pendidikan, baik di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi, tidak dapat lagi dianggap sebagai perilaku remaja yang ‘wajar’ atau sekadar bentuk keisengan antar teman. Ia adalah bentuk kekerasan psikologis dan sosial yang berdampak panjang terhadap kepercayaan diri, kesehatan mental, bahkan masa depan korban. Dalam banyak kasus, luka yang ditinggalkan tidak terlihat secara fisik, tetapi menggerogoti batin pelaku dan korban secara diam-diam.

Kecerdasan Emosional dan Empati dalam Pendidikan
Psikolog Daniel Goleman (1995) memperkenalkan konsep emotional intelligence atau kecerdasan emosional, yaitu kemampuan seseorang untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan emosi secara sehat serta memahami perasaan orang lain. Lima komponennya yaitu self-awareness, self-regulation, motivation, empathy, dan social skills menjadi fondasi penting dalam membangun hubungan sosial yang harmonis.

BACA JUGA :  Delengna Bae Gen

Pelaku bullying sering kali menunjukkan rendahnya kecerdasan emosional: tidak mampu mengontrol emosi, kurang empati, dan menjadikan dominasi sebagai sarana untuk diakui. Sementara korban, hidup dalam tekanan sosial yang membuatnya kehilangan harga diri dan rasa aman. Maka, pendidikan karakter yang menumbuhkan empati menjadi langkah strategis untuk memutus rantai kekerasan dalam dunia pendidikan.

error: