SLAWI, smpantura – Kabupaten Tegal, tepatnya di Desa Semedo, Kecamatan Kedungbanteng, pernah menjadi sebuah lintasan sejarah yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Tidak hanya temuan fosil manusia purba homo erectus tipik, tapi juga keanekaragaman fauna purba yang langka. Masih banyak misteri yang belum terungkap di Cagar Budaya Semedo.
Museum Semedo yang mulai dibangun pada tahun 2015 itu, bermula saat warga Semedo menemukan hewan veterbrata di tahun 2005. Temuan warga yang dilaporkan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tegal ditindaklanjuti Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran dan Badan Arkeologi Yogyakarta atau yang disebut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Tahun 2011, Dakri, warga Semedo menemukan tengkorak kepala dalam memperkuat adanya peradaban di zaman pra sejarah di Desa Semedo. Tengkorak itu setelah dilakukan penelitian, diyakini merupakan tengkorak manusia purba jenis homo erectus tipik yang dinamakan Semedo 1.
“Pada tahun 2014, penelitian menemukan adanya gigantophithecus yang pernah ditemukan di Cina, Vietnam dan Thailand,” kata Humas Pemasaran Museum Semedo Muhamad Destrianto saat ditemui di Museum Semedo, Minggu (16/2/2025).
Temuan-temuan tersebut mendapatkan perhatian semua kalangan, sehingga Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi membangun Museum Semedo. Lokasi museum itu berada di dekat penemuan fosil yang masuk kawasan cagar budaya Semedo.
Destrianto menilai kendati di Semedo telah ditemukan homo erectus tipik yang usianya diperkirakan 700 ribu tahun lalu, namun penemuan itu masih lebih tua Sangiran. Pasalnya, di Sangiran semua jenis homo erectus ditemukan. Namun demikian, di Semedo ada potensi lebih tua dari Sangiran dengan ditemukannya manusia purba tertua di Indonesia, di wilayah Tonjong, Kabupaten Brebes yang berusia 1,8 juta tahun lalu. Pasalnya, wilayah tersebut masih satu rumpun dengan Semedo.
“Semedo semakin menarik diteliti,” ujar pria asal Padang itu.
Pada tahun 2024, Museum Semedo dengan bantuan kepakaran dari BRIN, Fakultas Biologi UGM, dan Museum Geologi melakukan kajian terhadap 36 koleksi fosil gigi hiu. Hasil kajian ini berhasil
mengungkap keanekaragaman spesies, habitat, dan ekosistem laut
Semedo purba jutaan tahun lalu. Ada 9 genus dan 4 spesies, diantaranya Carcharodon hastalis yang memiliki gigi besar, tajam, dan merupakan nenek moyang hiu putih modern. Carcharodon megaladon atau megalodon, predator purba raksasa yang legendaris, diperkirakan memiliki panjang tubuh mencapai 15 hingga 20 meter. Carcharodon angustidens, spesies hiu dengan ciri khas gigi yang besar dan ramping dengan tepi bergerigi kecil serta alopias vulpinus, spesies hiu dengan sirip ekor yang panjang.
“Koleksi Museum Semedo sekitar 8 ribu fosil dan artefak. Mayoritas keanekaragaman fauna purba,” terang Destrianto.
Humas Museum Semedo itu menjelaskan, tahun 2024, pengelolaan Museum Semedo berubah yang sebelumnya dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, kini akibat pemecahan kementrian sehingga dikelola Kementerian Kebudayaan. Kementerian tersebut menunjuk Badan Layanan Umum (BLU) Museum dan Cagar Budaya atau yang dikenal dengan Indonesia Haretage Agenci (IHA). BLU itu mengelola 17 museum 1 galeri dan 34 cagar budaya se-Indonesia.
“Kami baru menarik retribusi tiket masuk sejak 1 Agustus 2024, walaupun museum ini diresmikan pada 12 Oktober 2022,” kata Destrianto.
Pengunjung Museum Semedo semakin meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun awal pembukaan, pengunjung mencapai 72 ribu orang, tahun 2023 sekitar 87 ribu orang dan di tahun 2024 mencapai 92 ribu orang. Pengunjung rata-rata kalangan keluarga, dan pelajar dari TK hingga SMA sekitar 35 persen.
“Arsitektur Museum Semedo berbentuk lingkungan modern. Dalam museum itu, terdapat evolusi lingkungan, budaya Semedo yang tergambar di sini,” beber Destrianto.
Bangunan megah dengan gaya arsitektur modern ini, menyuguhkan pemandangan yang sangat indah. Di depan museum, terdapat patung gajah berukuran besar.
Saat memasuki Museum Semedo, pengunjung akan disuguhkan dengan gambar dan alat peraga tata surya. Bahkan, gambar-gambar dengan pencahayaan menarik juga terlihat pada peta pembentukan pulau-pulau Nusantara. Pergerakan manusia purba homo erectus hingga di Pulau Jawa dipertontonkan dengan sangat apik. Beberapa alat yang terbuat dari batu juga disuguhkan dengan keterangan lengkap.
Paling mengagumkan patung homo erectus yang terlihat seperti nyata. Di dinding juga terdapat keterangan perjalanan evolusi manusia purba homo erectus. Foto para pegiat situs Semedo kali pertama, yakni Sunardi, Dakri, Duman dan Nasori juga disuguhkan baik dengan foto, patung dan juga perjalanan saat menemukan fosil-fosil purba tersebut.
Beberapa temuan dari para pegiat juga dipajang di Museum Semedo. Terutama, tengkorak homo erectus yang ditemukan pertama kali oleh Dakri yang dinamakan Semedo 1. Patung-patung manusia purba saat beraktivitas pada zamannya, menjadikan suasana semakin hidup dan serasa kembali ke zaman purba.
Anak pertama almarhum Dakri, Sisworo mengisahkan ayahnya yang kali pertama menemukan fosil-fosil. Dakri yang juga pegiat fosil Semedo, awal mula menemukan fosil manusia purba di Situs Semedo pada bulan Mei 2011. Dakri menemukan fragmen tengkorak homo erectus.
Temuan tersebut kemudian diteliti oleh BPSMP Sangiran dan dinyatakan bahwa pecahan atap tengkorak bagian belakang adalah fosil manusia purba dari awal Kala Pleosten Tengah sekitar 700.000 tahun lalu yang kemudian dinamai Semedo 1.
Tak hanya temuan fosil homo erectus, ayahnya juga menemukan ribuan fosil lainnya seperti fosil tulang rahang bawah dan gigi geligi primata besar sejenis Gigantopithecus atau kingkong, alat-alat di zaman batu tua atau paleolitikum seperti kapak genggam, kapak penetak, kapak perimbas dan alat serpih, hingga alat serut berbahan batu koral kersikan.
Tak ketinggalan temuan fosil fauna ordo proboscidea atau mamalia berbelalai seperti stegodon trigonocephalus, stegodon pygmy semedoensis, stegodon hypsilopus, elephas planifrons, dan elephas hysudricus.
“Semoga temua ayah saya bisa menjadi ilmu pengetahuan yang abadi,” kata Sisworo.
Seorang pengunjung Museum Semedo, Nurul Azizah (23) asal Balapulang mengaku kali pertama datang ke Museum Semedo. Ia sangat terkejut dan kagum dengan estetika museum. Pengalaman ini akan menjadi pengetahuan yang tidak didapatkan di wisata lainnya.
“Sayangnya lokasi museum jauh dan jalan menuju museum rusak. Tapi, terbayarkan dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan,” katanya. **