TEGAL, smpantura – Ratusan nelayan di wilayah Pantai Utara (Pantura) bagian Barat Jawa Tengah menolak penerapan program penangkapan ikan terukur (PIT).
Penolakan itu diungkapkan pada saat Biro Isda Provinsi Jawa Tengah, bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggelar sosialisasi PIT di Jawa Tengah, yang berlangsung di Kantor Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Rabu (4/9).
Dalam aksi damai di depan Kantor PPP Tegalsari, para nelayan menyebut bahwa program PIT menjadi momok yang merugikan pelaku usaha perikanan dan nelayan.
Salah satu pelaku usaha perikanan, Tegar Prasetyo mengatakan, penolakan program PIT di kalangan nelayan Pantura bagian Barat Jateng semakin kencang.
Para nelayan berharap, kapal berukuran 30-100 gross tonnage (GT) dapat memanfaatkan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711, Kepulauan Natuna dan WPP 712, Laut Jawa, dengan alat tangkap jaring tarik berkantong (JTK).
“Kami berharap bisa mendapatkan dua WPP yang berdampingan sehingga apabila terjadi migrasi ikan, kami tidak seperti berputar-putar di dalam kolam yang kosong,” katanya.
Sebab, lanjut Tegar, pada bulan Juli dan Agustus lalu, tidak sedikit nelayan dan pelaku usaha perikanan yang mengalami kerugian antara Rp 150 hingga Rp 300 juta per kapal. Sebab, aktivitas penangkapan ikan di WPP 711 tidak maksimal.
Dalam kesempatan itu, nelayan juga menolak penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang mencapai lima persen untuk kapal kecil dan 10 persen untuk kapal di atas 60 GT.
Para nelayan menyepakati PNBP berada di angka tiga persen yang diambil dari keuntungan dan bukan dari hasil pendapatan kotor.
Selain dibelenggu dengan PIT maupun PNBP, mereka meminta kebijakan bahan bakar minyak (BBM) non subsidi dengan harga khusus antara Rp 8.000 hingga Rp 9.000 per liter.
“Jika kami mendapatkan harga itu, kami juga berharap ada pengawasan ketersediaannnya. Jangan sampai harga sudah sesuai tetapi stoknya terbatas,” ungkapnya.
Tidak ada pendampingan
Tegar menambahkan, para nelayan yang sudah memasang transmitter melalui vendor yang ditetapkan, dapat merasakan manfaatnya.
Sebab, alat yang dibeli dengan harga kisaran Rp 16-17 juta itu dilakukan untuk memantau atau mengawasi aktivitas nelayan.
“Jika memang memasang transmitter bertujuan untuk memberi pertolongan pada kapal pada saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka kami menagih hal itu. Karena terus terang praktik di lapangan ketika ada kapal kecelakaan, terbalik, ABK sakit atau meninggal tidak ada pertolongan sama sekali dari pihak-pihak terkait,” tegasnya.
Tegar berharap, permasalahan nelayan yang semakin kompleks dapat diperhatikan pemerintah, khususnya Presiden RI, Joko Widodo.
Menjelang purna tugas, para nelayan berharap Jokowi dapat memberikan kenang-kenangan sebuah kebijakan yang dapat menyejahterakan nelayan.
Kepala Kantor PPP Tegalsari Kota Tegal, Tuti Suprianti mengatakan, sosialisasi yang dikemas dalam forum discussion group (FGD) merupakan kelanjutan dari PIT.
Menurutnya, tuntutan dari nelayan belum sinkron dengan kebijakan KKP. Sebab, aspirasi itu sudah pernah disampaikan namun belum menemui tanggapan dari pemerintah pusat.