Pahlawan, Dosa, dan Jasa: Antara Sejarah Dan Konsistensi Berpikir

Oleh : Rudi yahya

Pertanyaannya, mengapa sebagian dari kita begitu mudah memaafkan kekurangan Gus Dur, tapi menolak melihat jasa Soeharto? Apakah karena faktor moral, atau karena kesesuaian dengan ideologi dan emosi kita sendiri?

Inilah bentuk ketidakadilan dalam berpikir kita terjebak dalam logika “siapa yang saya suka, dia pahlawan; siapa yang saya benci, dia penjahat.” Padahal, dalam sejarah bangsa, tak ada tokoh yang sepenuhnya putih atau hitam.

Pahlawan bukanlah mereka yang tanpa salah, tetapi mereka yang dalam keterbatasannya mampu memberikan makna besar bagi bangsanya. Soekarno pun punya sisi kontroversial, tetapi jasa kemerdekaannya tak bisa dihapus. Demikian pula Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, hingga Jenderal Sudirman semuanya manusia dengan catatan dosa dan jasa sekaligus.

Kita harus belajar membaca sejarah secara utuh, bukan secara emosional. Sejarah menuntut kita menjadi pembelajar yang objektif, bukan hakim yang menjatuhkan vonis berdasarkan simpati pribadi. Dalam pandangan Kuntowijoyo, sejarah adalah “rekonstruksi masa lalu secara ilmiah,” bukan ruang untuk membenarkan ideologi tertentu. Sartono Kartodirdjo menambahkan, sejarah harus dipahami dalam konteks sosial dan struktur zamannya. Sedangkan Benedict Anderson dalam Imagined Communities mengingatkan bahwa setiap bangsa membentuk narasi pahlawannya sendiri kadang bukan berdasarkan fakta, tetapi kebutuhan simbolik.

BACA JUGA :  Apakah Semua Layanan Pemerintah Tanpa Biaya

Karena itu, menjadi adil sejak dalam pikiran berarti berani menempatkan setiap tokoh dalam konteks sejarahnya. Tidak menuhankan yang kita sukai, tidak mengutuk total yang kita benci.

Sejarah bukan tentang mencari siapa yang suci, tetapi memahami siapa yang pernah berjuang dengan segala risikonya. Maka, menghapus jasa seseorang karena dosanya, atau menutup dosanya karena jasanya dua-duanya sama berbahayanya bagi kebenaran sejarah.

error: