Mungkin ini yang disebut Ki Hajar Dewantoro sebagai kodrat. Bahwa setiap orang membawa kodratnya. Pendidikan adalah membimbing (among) siswa sesuai kodratnya. Siswa yang tumbuh sesuai kodratnya, hidupnya akan bahagia.
Pada praktiknya dunia pendidikan sering salah sasaran dalam membuat ukuran. Siswa cenderung dinilai dengan ukuran tunggal. Keberadaan siswa diseragamkan dan cenderung meniadakan keunikan. Seperti gambaran di atas, memanjat menjadi ukuran, tak peduli yang terlibat di dalamnya ada ikan, kuda burung dll.
Sistem penilaian dalam pendidikan umumnya mengukur keberhasilan yang bertumpu pada kemampuan intelektual (kognitif).
Itu konsekuensi dari sistem kurikulum yang menggunakan pendekatan model subjek akademik, dimana kurikulum berisi kumpulan satuan pelajaran yang harus dikuasai siswa.
Mereka yang hebat dan sukses belajar apabila nilai rapotnya bagus. Hebat itu yang nilai matematikanya tinggi, sukses itu yang mendapat nilai IPA bagus. Kemampuan di luar itu cenderung tidak terakomodir.
Satu keadaan yang menyedihkan, ketika pendekatan kognitif menjadi tumpuan di sekolah, ternyata hasilnya juga tidak menggembirakan. Ini terbukti dari hasil asesmen PISA (Programme for International Student Assessment) maupun hasil Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang menunjukkan hasil rendah pula.
Kemampuan mayoritas siswa kita berdasar hasil PISA sepanjang 20an tahun (2000-2022) memiliki hasil rendah.
Berdasar hasil PISA 2018, siswa Indonesia berada jauh di bawah skor rata-rata negara anggota OECD (Organisation Economic Co Operation Development). Hanya sebagian kecil siswa kita yang berhasil mencapai kemahiran level minimun (level minimum diangka 2 pada tingkatan 1-6).