Bagi kepala daerah dari PDIP, situasi ini sangat dilematis. Di satu sisi, mereka memiliki kewajiban sebagai pejabat publik untuk menjalankan program pemerintah pusat, termasuk mengikuti pelatihan yang bertujuan meningkatkan kapasitas kepemimpinan. Namun, di sisi lain, mereka juga harus mempertimbangkan posisi politik PDIP yang kini mengambil jarak dari pemerintahan baru. Jika mereka mengikuti program ini, mereka berisiko dianggap sebagai kader yang tidak loyal terhadap partai. Sebaliknya, jika mereka menolak, mereka bisa dianggap tidak kooperatif dengan pemerintahan pusat, yang dapat berdampak pada hubungan politik dan kebijakan daerah mereka.
Pakar hukum tata negara memberikan perspektif berbeda mengenai situasi ini. Mahfud MD menilai bahwa kepala daerah tetap harus bekerja sama dengan pemerintah pusat dalam kapasitas mereka sebagai pejabat eksekutif di daerah. Menurutnya, pendidikan kepala daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah merupakan bagian dari peningkatan kualitas pemerintahan, bukan sekadar agenda politik. Namun, ia juga mengingatkan bahwa independensi partai politik harus tetap dijaga, sehingga sikap kritis terhadap kebijakan tertentu adalah hal yang wajar.
Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa dalam sistem presidensial, kepala daerah memiliki kewajiban utama kepada rakyat dan negara, bukan hanya kepada partai yang mengusung mereka. Ia menekankan bahwa menolak program pemerintah pusat hanya karena alasan politik partai bisa menjadi langkah yang kontraproduktif bagi pembangunan daerah. Namun, ia juga mengakui bahwa dalam politik Indonesia, dinamika antara partai dan pemerintahan selalu kompleks, sehingga setiap kepala daerah harus mampu memainkan perannya dengan cerdas.