Dinamika politik Indonesia kembali memunculkan dilema bagi kepala daerah dari PDIP. Kali ini, mereka dihadapkan pada pertanyaan sulit: apakah harus mengikuti instruksi Presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakilnya Gibran Rakabuming Raka atau tetap loyal pada garis partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri?
Salah satu isu yang memicu polemik ini adalah rencana pendidikan bagi kepala daerah di Magelang yang digagas oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. PDIP, sebagai partai yang kini mengambil posisi oposisi, menginstruksikan kadernya untuk tidak serta-merta mengikuti kebijakan tersebut. Sikap ini bukan tanpa alasan. PDIP melihat bahwa program ini bukan sekadar pelatihan teknokratis, tetapi juga bagian dari konsolidasi kekuasaan Prabowo-Gibran untuk menanamkan pengaruh politik mereka di daerah. Dengan kata lain, ada kekhawatiran bahwa program ini dapat menjadi alat kontrol bagi pemerintahan baru terhadap kepala daerah yang berasal dari partai oposisi.
Namun, instruksi partai ini juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang lebih luas, terutama kasus hukum yang menjerat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Status tersangka yang diberikan kepada Hasto dalam kasus dugaan korupsi di KPU oleh KPK menambah panas hubungan antara PDIP dan pemerintahan yang akan datang. PDIP melihat ini sebagai upaya kriminalisasi terhadap tokoh partai mereka, yang semakin memperkuat alasan untuk bersikap tegas terhadap kebijakan Prabowo-Gibran. Dalam konteks ini, instruksi partai kepada kepala daerah untuk menjaga jarak dari program pemerintah bisa dimaknai sebagai bentuk perlawanan politik terhadap tekanan yang mereka rasakan.
Bagi kepala daerah dari PDIP, situasi ini sangat dilematis. Di satu sisi, mereka memiliki kewajiban sebagai pejabat publik untuk menjalankan program pemerintah pusat, termasuk mengikuti pelatihan yang bertujuan meningkatkan kapasitas kepemimpinan. Namun, di sisi lain, mereka juga harus mempertimbangkan posisi politik PDIP yang kini mengambil jarak dari pemerintahan baru. Jika mereka mengikuti program ini, mereka berisiko dianggap sebagai kader yang tidak loyal terhadap partai. Sebaliknya, jika mereka menolak, mereka bisa dianggap tidak kooperatif dengan pemerintahan pusat, yang dapat berdampak pada hubungan politik dan kebijakan daerah mereka.
Pakar hukum tata negara memberikan perspektif berbeda mengenai situasi ini. Mahfud MD menilai bahwa kepala daerah tetap harus bekerja sama dengan pemerintah pusat dalam kapasitas mereka sebagai pejabat eksekutif di daerah. Menurutnya, pendidikan kepala daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah merupakan bagian dari peningkatan kualitas pemerintahan, bukan sekadar agenda politik. Namun, ia juga mengingatkan bahwa independensi partai politik harus tetap dijaga, sehingga sikap kritis terhadap kebijakan tertentu adalah hal yang wajar.
Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa dalam sistem presidensial, kepala daerah memiliki kewajiban utama kepada rakyat dan negara, bukan hanya kepada partai yang mengusung mereka. Ia menekankan bahwa menolak program pemerintah pusat hanya karena alasan politik partai bisa menjadi langkah yang kontraproduktif bagi pembangunan daerah. Namun, ia juga mengakui bahwa dalam politik Indonesia, dinamika antara partai dan pemerintahan selalu kompleks, sehingga setiap kepala daerah harus mampu memainkan perannya dengan cerdas.
Sementara itu, Jokowi, yang kini berada dalam posisi transisi kekuasaan, tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan sikap PDIP. Ia menyatakan bahwa keputusan untuk mengikuti atau tidak mengikuti program pemerintah adalah hak setiap kepala daerah, tetapi ia juga menegaskan bahwa sinergi antara pusat dan daerah tetap menjadi faktor penting dalam keberhasilan pembangunan nasional.
Situasi ini mencerminkan realitas politik Indonesia yang sarat dengan tarik-menarik antara kepentingan partai dan kebutuhan pemerintahan. Kepala daerah dari PDIP kini harus berhitung dengan cermat, menimbang antara kepentingan politik partai dan tanggung jawab mereka sebagai pemimpin daerah. Pada akhirnya, mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara loyalitas dan pragmatisme akan lebih mampu bertahan dalam dinamika politik yang terus berubah. **
Oleh : Muhdi, M.H.
Sekretaris PC Pergunu Kabupaten Tegal
Berita Lainnya di PUSKAPIK.COM:
