Kepemimpinan Perempuan di Brebes, Cermin Kemajuan Pendidikan dan Kesetaraan Gender

Oleh : Lusiana Indira Isni

KABUPATEN Brebes, bersama dengaan 34 daerah lain di jawa tengah baru saja mengikuti pemilihan kepala daerah, pada 27 November lalu. Dari hasil rekapitulasi KPU, Pilkada Brebes dimenangkan oleh pasangan calon nomor urut 1, yakni Paramitha Widya Kusuma dan Wurja, dengan perolehan suara sebesar 503.719 (59,60%) mengalahkan kotak kosong dengan perolehan 341.407 suara (40,40%). Paslon Mitha-Wurja diusung oleh 11 partai politik, di mana sembilan di antaranya memiliki total 50 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Brebes, yaitu PDI-P, PKB, Gerindra, Nasdem, Golkar, PPP, PKS, PAN, dan Demokrat. Selain itu juga didukung dua partai non parlemen yakni Perindo dan Partai Buruh.

Paramitha Widya Kusuma yang lahir bertepatan dengan hari jadi ke-314 Kabupaten Brebes, yakni 18 Januari 1992, merupakan putri pertama pasangan Indra Kusuma dan Maryatun. Dimana Indra Kusuma sendiri merupakan Bupati Brebes periode 2002-2010 dan saat ini masih aktif menjadi Ketua DPC PDI-P Kabupaten Brebes. Mitha, panggilan akrab Paramitha Widya Kusuma, mengawali kiprahnya di dunia politik dengan langsung terpilih menjadi anggota DPR-RI tahun 2019-2024, dari Fraksi PDI-P dapil IX Jateng yang meliputi Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal dan Kota Tegal. Ia berhasil meraup suara yang cukup fantastis pada pemilihan pertamanya, yakni sebanyak 129.947 suara, dan mengantarkannya sebagai Legislator dengan suara terbanyak di Dapil IX Jateng.

Kemenangan Mitha dalam Pilkada Brebes pada tahun 2024, setelah sebelumnya Idza Priyanti menjabat sebagai bupati perempuan pertama sejak 2012, menggambarkan sebuah fenomena yang tidak hanya relevan dalam konteks politik lokal, tetapi juga mencerminkan perkembangan yang lebih luas dalam hal kesetaraan gender di Indonesia. Terpilihnya dua perempuan untuk memimpin kabupaten Brebes ini adalah bukti nyata bahwa perempuan kini semakin diterima dan dihargai sebagai pemimpin yang mampu membawa perubahan, bukan hanya di sektor domestik tetapi juga dalam pembuatan kebijakan publik yang lebih luas.

Perubahan ini juga mencerminkan perjuangan panjang perempuan Indonesia yang telah mengusung isu kesetaraan, terutama dalam hal pendidikan dan hak berpartisipasi dalam proses politik. Meskipun masih banyak tantangan, seperti kesenjangan gender yang ada di banyak daerah, terpilihnya kembali perempuan untuk menjadi Bupati Brebes menunjukkan bahwa perempuan kini mulai diberi ruang yang lebih besar untuk berkontribusi dalam pemerintahan. Langkah ini juga menjadi momentum bagi daerah-daerah lain untuk lebih membuka kesempatan bagi perempuan di semua level politik, menandakan bahwa kesetaraan gender bukan lagi sekadar wacana, tetapi semakin menjadi kenyataan.

Kemenangan dua perempuan dalam Pilkada Brebes ini, menggambarkan pencapaian yang lebih luas dari sekadar keberhasilan politik. Dua orang Bupati perempuan dari Kabupaten Brebes adalah hasil dari perjalanan panjang yang mencerminkan transformasi sosial dan budaya, di mana perempuan semakin mendapatkan tempat yang setara dalam ranah politik. Ini tidak hanya tentang keberhasilan dalam kontestasi politik, tetapi juga merupakan hasil dari perjuangan kolektif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di berbagai sektor kehidupan. Salah satu sektor yang paling vital dalam mencapai kesetaraan gender adalah pendidikan. Pendidikan menjadi pintu gerbang bagi perempuan untuk mengakses berbagai kesempatan, mengembangkan potensi diri, dan berperan dalam pengambilan keputusan yang penting, baik di tingkat keluarga, masyarakat, maupun negara.

      RA KARTINI

Pendidikan yang setara dan inklusif adalah fondasi utama untuk mengubah persepsi masyarakat tentang peran perempuan. Jika perempuan mendapat pendidikan yang memadai, mereka tidak hanya akan terlibat dalam kegiatan ekonomi dan sosial, tetapi juga akan berperan aktif dalam politik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Raden Ajeng Kartini sebagaimana tertuang dalam surat kepada Rosa Abendanon tertanggal 21 Januari 1901, dimana Kartini mengungkapkan jika diberi kesempatan, perempuan niscaya dapat menunjukkan kemampuannya untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Bagi Kartini, pendidikan adalah kunci untuk mengubah status sosial perempuan dan memberdayakan mereka untuk tidak hanya menerima takdir, tetapi untuk merubah dan membentuk hidup mereka.

Raden Ajeng Kartini, yang lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, merupakan sosok yang tak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan emansipasi wanita di Indonesia. Putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara, Kartini tumbuh dalam lingkungan keluarga bangsawan Jawa yang masih sangat terikat dengan adat istiadat tradisional. Masa kecil Kartini diwarnai dengan kesempatan yang tidak didapat oleh kebanyakan anak perempuan pribumi pada masanya. Ia berkesempatan mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun. Namun, seperti gadis bangsawan lainnya, Kartini harus menjalani masa pingitan setelah mencapai usia tersebut. Selama masa pingitan, Kartini mengisi waktunya dengan membaca berbagai buku dan majalah yang ia peroleh. Melalui bacaan-bacaan ini, ia membuka wawasannya tentang kemajuan pemikiran dan peradaban di Eropa. Kartini juga aktif menjalin korespondensi dengan sahabat-sahabat penanya di Belanda, terutama dengan Nyonya Rosa Abendanon.

BACA JUGA :  Delengna Bae Gen

Surat-surat Kartini yang kemudian dibukukan dengan judul “Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) mengungkapkan pemikiran-pemikiran progresifnya tentang pendidikan, kesetaraan gender, dan kritik terhadap berbagai praktik adat yang memberatkan kaum perempuan, termasuk poligami dan pernikahan dini. Kartini mengkritisi sistem feodal dan patriarki yang menempatkan perempuan sebagai subordinat. Ia menyoroti bagaimana adat istiadat sering kali menjadi tameng untuk mempertahankan ketidaksetaraan gender.

Pada tahun 1903, Kartini menikah dengan Raden Adipati Djojoadiningrat, Bupati Rembang. Meski demikian perjuangan Kartini tidak berhenti pada tataran pemikiran semata. Ia mewujudkan cita-citanya dengan mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan pribumi di Jepara. Sayangnya, perjuangan fisiknya harus berakhir terlalu cepat. Kartini wafat pada 17 September 1904, tak lama setelah melahirkan putra pertamanya, di usia yang masih sangat muda, 25 tahun.Sekolah yang ia dirikan tersebut menjadi bukti nyata komitmennya dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan.

Perjuangan Kartini ini, bukanlah sekadar tuntutan kesetaraan dalam pengertian liberal; ia juga menyoroti pentingnya membangun keadilan struktural yang mendukung perempuan untuk berperan aktif dalam kehidupan publik. Gagasannya tentang emansipasi perempuan tidak hanya menitikberatkan pada kebebasan individu, tetapi juga pada tanggung jawab kolektif untuk menciptakan masyarakat yang adil.Dan kini, lebih dari seabad setelah perjuangan Kartini, fenomena perempuan yang memimpin sebagai kepala daerah di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, dapat dilihat sebagai salah satu realisasi gagasan-gagasannya.

Pada bagian lain, pemikiran kritis kartini pun masih relevan hingga kini, di mana perempuan yang menjadi kepala daerah masih kerap menghadapi stereotip dan prasangka gender. Belum lagi para kepala daerah perempuan juga dituntut untuk dapat memadukan nilai-nilai tradisional dengan tuntutan modernitas dalam kepemimpinan mereka. Kepala daerah perempuan di Jawa Tengah sering kali harus menegosiasikan antara peran mereka sebagai pemimpin modern dengan ekspektasi kultural terhadap perempuan Jawa.Namun, keberhasilan beberapa perempuan menjadi kepala daerah di Jawa Tengah, termasuk Kabupaten Brebes yang akan memasuki periode ke-tiga kepemimpinan Bupati perempuan turut menunjukkan bahwa hambatan-hambatan kultural tersebut perlahan-lahan dapat diatasi.

Melihat ke depan, pemikiran kritis Kartini tentang pendidikan dan kesetaraan gender masih sangat relevan sebagai panduan dalam mengembangkan kepemimpinan perempuan di tingkat lokal. Keberhasilan kepala daerah perempuan di Jawa Tengah membuktikan bahwa visi Kartini tentang perempuan yang terdidik dan mampu memimpin bukanlah utopia. Namun, masih diperlukan upaya sistematis untuk mengatasi hambatan struktural dan kultural yang menghalangi partisipasi perempuan dalam kepemimpinan publik.

Warisan pemikiran Kartini mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk kesetaraan gender dalam kepemimpinan publik adalah proses panjang yang membutuhkan perubahan tidak hanya pada level kebijakan, tetapi juga pada mindset masyarakat. Keberhasilan kepala daerah perempuan di Jawa Tengah adalah bukti nyata bahwa pemikiran Kartini tetap hidup dan relevan dalam konteks kepemimpinan modern.

Selamat atas terpilihnya Paramitha Widya Kusuma sebagai Bupati perempuan kedua di Kabupaten Brebes. Semoga mbak Mitha dapat mengobarkan semangat perjuangan Kartini, salah satunya dengan meningkatkan pendidikan masyarakat Kabupaten Brebes, utamanya para perempuan. Sebagaimana ungkapan Kartini “Mendidik seorang perempuan berarti mendidik seluruh generasi. Perempuan yang terdidik akan mampu memimpin dan membawa perubahan dalam masyarakatnya”.

*Penulis : Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid-Jakarta

Baca Juga

Loading RSS Feed

error: