* Mati Ketawa Ala Tegal
TEGAL, smpantura – Seperti mengadapi tembok besar yang sulit ditembus dengan cara apapun, warga Kota Tegal pun tak kurang cara untuk menuangkan kritik bernuansa kegetiran, saat pemerinta kota itu menggulirkan kebijakan dalam menangani Pandemi Covid-19. Salah satunya adalah, yang dilakukan jurnaslis Ahmad Zaini Bisri (60).
Pria kelahiran Desa Kademangaran, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, yang kini bermukim dan membuka usaha toko busana muslim di kawasan Alun-Alun, memotret caruk maruk kebijakan Pemkot Tegal yang dinilai merugikan warga sekitar alun-alun, dan warga yang tinggal di wilayah lain. Juga kesedihan tak terkira yang dialaminya dan warga lainnya, lewat kumpulan tulisan di media online yang dikemas dalam sebuah buku bertajuk”Mati Ketawa Ala Tegal” Anekdot Anomali Kebijakan Revitalisasi Kawasan Pusat Kota Tegal.
”Kadang kalau melihat praktik kebijakan yang dilakukan Pemkot Tegal saat itu, dan membaca apa yang dituangkan penulisnya yang juga dosen FISIP Universitas Pancasakti (UPS) Tegal, dalam buku ini, terasa banyak terekam kejanggalan, kekecewaan dan kejengkelan masyarakat. Semua ini dituangkan dalam gaya bahasa yang mudah dicerna pembacannya,” papar Ketua Yayasan Pendidikan Pancasakti (YPP) Dr Imawan Sugiharto SH MH, saat memberi wejangan awal berkait giat bedah buku tersebut, di Aula YPP, Kamis (22/12).
Di bagian awal, Imawan juga mengungkapkan buku dengan judul serupa ”Mati Ketawa Ala Rusia” dengan judul asli Russia Dies Laughing dengan editor Z Dolgopolova. Menurut dia, meski ada kesamaan dalam judul yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tapi secara isi jauh berbeda. Apalagi cara-cara satire yang dituangkan penulisnya, cukup memberi makna, bagaimana ada sebuah kenyataan ”Mati Ketawa Ala Tegal”.
Hal menarik dari buku tersebut, menurut Imawan Sugiharto, penulisnya cukup jeli dalam merekam kejadian di lapangan, atas kebijakan pemortalan masuk Alun-Alun mulai pukul 17.30 hingga pukul 24.00. Juga cara menuangkan kritikan atas kebijakan itu, dengan cerita dan bahasa yang cukup bervariasi.
Buku setebal 213 halaman pun, menjadi diskusi menarik saat dibedah. Moderator budayawan dan sastrawan Atmo Tan Sidik, cukup lihai dalam menempatkan siapa yang berbicara terlebih dahulu dari empat sosok ”Pembedah” buku tersebut. Mereka adalah anggota DPRD Kota Tegal Edi ”Uyip” Suripno SH MH, pemerhati kebijakan publik dan pembangunan Abdulah Sungkar MT, Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UPS Tegal Leli Triana MPd, dan penyair, penulis buku, kolumnis yang juga Rektor Universitas Bhamada Slawi Dr Maufur MPd.
Sorotan Tajam
Bedah buku pun bergeser tajam kearah sorotan tajam atas kebijakan Wali Kota Tegal, saat penganganan Pandemi Covid 19 dan revitalisasi Jl Ahmad Yani. Leli Triana awalnya membeberkan tentang sepak terjang orang Tegal yang cukup gigih dalam memperjuangkan ketidakadilan yang dialami. Dia menukil sebuah ungkapan khas warga pesisir pantura barat itu,” Banteng Loreng Binoncengan”, juga fungsi alun-alun dari masa Amangkurat I hingga kini.
Uyip dengan bahasa yang halus, mengungkapkan bagaimana akhirnya orang Tegal harus dipimpin sosok yang kurang merespon keluh kesah warganya. Wakil Wali Kota Tegal Jumadi yang hadir dalam bedah buku itu pun, cukup tersenyum melihat kritikan yang terlontar. ”Nah, peran DPRD sebenarnya cukup banyak. Sudah sering menyampaikan tentang kebijakan pemortalan ini. Tapi Wali Kota kurang merespon,” ucap dia.
Atmo Tan Sidik pun menambahkan, ada sekitar 15 halaman yang bercerita tentang bagaimana DPRD Kota Tegal dalam menyikapi kebijakan yang dinilai menggelisahkan warganya, berkait dengan pemortalan alun-alun dan revitalisasi sepanjang Jl Ahmad Yani.
Krtitik pedas pun akhirnya meluncur dari sosok Abdulah Sungkar. Mantan anggota DPRD dari PAN itu cukup jeli dalam menyoroti pemortalan dan revitalisasi sebuah kota. Menurut dia, Jl Ahmad Yani yang dulu lebar, kini berubah menjadi sempit, dan banyak pedagang kaki lima atau lesehan yang harus menyingkir dari lokasi itu.
Dr Maufur, cukup berbeda dalam menyikapi terbitnya buku tersebut. Meski cukup banyak hal-hal menarik dan lucu dalam buku itu, tapi ada satu alur cerita yang layak dipertanyakan. Dia menyebut di halaman 148 di sub judul ”Menghalangi Ibadah”.
Menanggapi semua ”Pembedah ” itu, Ahmad Zaini Bisri justru berterimakasih. Dia mengakui, meski pernah jadi editor surat kabar, penulis buku, kesalahan maupun kekurangan dalam penulisan buku tersebut tetap ada. ”Ini masukan penting, semoga bisa menjadi hal lebih baik lagi,” ucap dia.
(RiyonoToepra)