Oleh: Syamsul Maarif
Mall Pelayanan Publik (MPP), dalam konsepnya, merupakan terobosan penting dalam reformasi birokrasi. Dengan mengusung semangat “pelayanan satu pintu,” pemerintah ingin mempermudah masyarakat mengakses berbagai layanan administrasi dalam satu lokasi. Namun sayangnya, di lapangan, cita-cita mulia itu kerap menjelma menjadi ironi: satu pintu yang dijanjikan, justru terbentur ribuan jendela prosedur yang membingungkan.
Janji yang Belum Tertunaikan
Kehadiran MPP di berbagai kota/kabupaten seharusnya menjadi simbol kemajuan pelayanan publik. Mulai dari pengurusan KTP, perizinan usaha, BPJS, pajak, hingga layanan kepolisian, semuanya diintegrasikan dalam satu gedung. Tetapi, banyak warga justru mengeluhkan pengalaman mereka yang bertolak belakang dari narasi ideal.
Alih-alih mempercepat proses, mereka harus berkeliling dari satu loket ke loket lain yang berbeda instansi. Setiap “jendela” memiliki prosedur tersendiri, alur yang tidak sinkron, hingga sistem informasi yang belum terintegrasi. Tidak jarang, pengunjung justru diminta kembali di lain hari karena dokumen yang diminta berbeda dengan informasi awal.
Ketiadaan Integrasi Digital
Salah satu penyebab utama kegagalan MPP dalam mewujudkan efisiensi adalah rendahnya integrasi digital antarlembaga. Banyak instansi masih mengandalkan sistem internal masing-masing tanpa konektivitas data secara menyeluruh. Akibatnya, meskipun berada di satu gedung, pegawai satu instansi tidak memiliki akses informasi yang dibutuhkan dari instansi lain.
Hal ini menjadikan MPP seperti pasar swalayan dengan kasir yang tidak saling mengenal. Warga tetap harus mencetak dokumen berulang, membawa fotokopi, dan melakukan verifikasi dari awal untuk layanan yang semestinya saling terkait.