SLAWI, smpantura – Monumen Gerakan Banteng Negara (GBN) sudah tidak asing bagi masyarakat Tegal dan sekitarnya. Monumen yang berada di Lebaksiu , Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal ini dengan mudah dijumpai di tikungan Jalan Raya Tegal-Purwokerto atau tepatnya di Jalan Sari Petojo RT 01 RW 08 ,Karang Muncul, Lebaksiu Lor.
Monumen tersebut mengingatkan keberanian TNI dan masyarakat Tegal dalam melawan pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Bangunan yang terletak berseberangan dengan Masjid Besar Al Firdaus Lebaksiu Lor ini mempunyai tinggi sekitar 4,5 meter itu memiliki lima sisi. Tiga sisi bangunan ini bertuliskan huruf G, B dan N, sedangkan sisi lainnya terdapat Mukadimah UUD 45 yang berisi rumusan Pancasila. Satu sisi lainnya terdapat Prakata.
Dalam prakata tersebut tertulis Bahwa di sekitar daerah ini terutama di dalam hutan-hutan dan di sekitar gunung antara tahun 1950-1962 telah merajalela gerakan extrem yang menamakan dirinya DI (Darul Islam). Mereka itu memberontak terhadap pemerintah RI yang syah dan melakukan teror membunuh, membakar rumah rakyat yang tidak berdosa. Komando GBN (Gerakan Banteng ) yang bermarkas di Kota Slawi , dimaksud untuk menumpas gerakan extrem tersebut dan mengembalikan keamanan serta ketentraman masyarakat.
Di bagian atas monumen terdapat patung prajurit TNI berpakaian doreng menghadap Barat Laut . Patung membawa senapan laras panjang dan membawa ransel. Di bagian bawah tentara atau di atas huruf B terdapat tulisan pantang mundur.
Sementara di bagian bawah monumen terdapat relief yang menggambarkan perjuangan prajurit TNI menumpas DI /TII yang dipimpin Amir Fatah.
Di bagian bawah monumen dilengkapi dengan prasasti. Tertulis Pramonumen GBN/IV Diresmikan oleh Dandim 071/ Wijoyo Kusumo . Kolonel Zomi Dachlan pada tanggal 22 -8-1974. Prakarsa Bupati KDH Tegal R Samino.
Salah satu tokoh masyarakat di Lebaksiu, H Maskun mengisahkan, peresmian Monumen GBN Lebaksiu pada 1974 berlangsung meriah. Saat itu, usianya masih 10 tahun.
Maskun menuturkan, setiap tahun diadakan upacara di Monumen GBN Lebaksiu , yakni pada saat peringatan ulang tahun Banteng Raiders yang sekarang bernama Balatyon Infanteri 400/Banteng Raiders. Pasukan inilah yang berhasil menggempur kedudukan pasukan DI/TII yang dipimpin Amir Fatah di wilayah Slawi-Tegal. Operasi penghancuran pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah ini tergolong sukses.
Dikutip di laman undip.ac.id yang memuat skripsi Nurul Fatimah yang berjudul Penumpasan Gerakan DI/TII di Kabupaten Tegal tahun 1949 – 1962, kemunculan Gerakan DI/TII di Kabupaten Tegal tidak bisa dipisahkan dari adanya kebijakan dari pusat terhadap Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) di dalam TNI. Kebijakan ReRa tersebut dimaksudkan untuk membangun TNI menjadi organisasi militer yang baik dan profesional dengan dasar pendidikan kompetensi yang jelas dan terukur. Oleh karena itu, dengan ReRa banyak kesatuan militer yang terkena dampak harus dikeluarkan ataupun dibubarkan.
Dalam konteks ini, pasukan Hizbullah adalah kesatuan yang terkena dampak ReRa di Brebes. Salah satu organisasi Hizbullah yang kecewa terhadap Keputusan ReRa adalah Majelis Islam. Pasukan Majelis Islam pimpinan Abas Abdullah pada akhirnya memutuskan untuk memberontak melawan pemerintah. Pada perkembangannya, Amir Fatah bergabung bersama Abas Abdullah membangun Gerakan DI/TII Kabupaten Tegal.
Gerakan separatis DI/TII Kabupaten Tegal membuat pemerintah membentuk berbagai operasi penumpasan seperti Gerakan Banteng Negara, Gerakan Banteng Raiders dan operasi gabungan antara pasukan SWKS III dan pasukan SWKS IV.
Dalam operasi penumpasan Gerakan Banteng Negara, Panglima Divisi III/GM Kolonel Gatot Subroto menunjuk Letkol Sarbini sebagai Pemimpin Gerakan Banteng Negara. Tujuan pembentukan Gerakan Banteng Negara adalah mencegah anggota DI/TII Tegal menyebarluaskan paham DI/TII di luar wilayah Tegal dan menangkap para tokoh Gerakan DI/TII beserta pemimpinnya sehingga Gerakan DI/TII Tegal dapat berakhir dengan cepat.
Pada perkembangannya, operasi penumpasan GBN belum mampu membuat Gerakan DI/TII berakhir, sehingga TNI memutuskan membentuk operasi penumpasan baru yang disebut dengan Gerakan Banteng Raiders. Dalam usaha untuk memaksimalkan operasi penumpasan, Letkol Ahmad Yani selaku pemimpin Operasi Banteng Raiders memberikan pelatihan kepada dua kompi pasukan sehingga dalam melakukan operasi penumpasan dapat lebih maksimal.
Gerakan DI/TII Kabupaten Tegal berakhir pada tahun 1962, setelah para pemimpin DI/TII seperti Amir Fatah, Syamlawi dan Zaenal Abidin memutuskan untuk menyerahkan diri. Pada 1962, jumlah pasukan DI/TII hanya tinggal lima batalyon saja dengan dipimpin oleh Kastolani, para anggota DI/TII ini memutuskan untuk meletakkan senjata di Losari, Brebes.
Sementara itu, selain Monumen GBN di Lebaksiu, di Kabupaten Tegal juga terdapat Monumen GBN yang berada di bundaran Procot, Kecamatan Slawi berseberangan dengan Tugu Poci.
Monumen GBN yang diresmikan pada 5 Oktober 1976 oleh Jenderal Surono, merupakan salah satu bukti dari perjuangan bangsa Indonesia dalam menumpas pengaruh DI/TII di daerah Tegal, Brebes, dan Pekalongan.
“Monumen GBN Slawi merupakan wujud kemanunggalan TNI dengan rakyat berdasarkan Sejarah, penumpasan Gerakan Rakyat Tiga Daerah dan Gerakan Darul Islam di wilayah Tegal dilakukan TNI (TKR) dan rakyat,”terang Dandim 0712/Tegal Letkol Inf Suratman.
Suratman menyebutkan, Darul Islam (DI) yang pasukannya disebut Tentara Islam Indonesia (TII) merupakan pasukan yang didirikan oleh Sekarmadji Kartosuwiryo pada tanggal 9 Agustus 1948 di lereng Gunung Galunggung,Tasikmalaya.
Sejatinya DI/TII memiliki tujuan utama untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia (NII). Sehingga secara otomatis ingin merubah Dasar Negara Pancasila. DI/TII di wilayah Tegal dan sekitarnya berhasil ditumpas menggunakan operasi GBN yang diperkuat dengan pasukan Banteng Raiders juga dibantu oleh kelompok masyarakat.
Pertempuran pasukan Banteng Raiders (Yonif Raider 400/BR) dibantu rakyat melawan DI/TII berlangsung di hutan, perbukitan, tebing dan pegunungan diantaranya di Balapulang, Slawi, Lebaksiu, Prupuk, Margasari, Bumijawa, Cempaka, Adiwerna dan Pangkah. Melalui usaha ini , akhirnya DI/TII dapat dilumpuhkan. (**)